June 30, 2012

Aku, Dara Tak Bersayap


Malam ini kelam.
Aku menyeret langkah, menghela nafas, menjamah buku usang yang biasa menjadi pengaduan. Detak dan detik terdengar tak seirama, memilih ritme sesuai kehendak mereka. Tak ada denting yang lain.
Malam ini sunyi.
Halusinasi mulai bermain, berlarian tak beraturan. Imajinasi mulai berkeliaran, bayang-bayang bergantian sampai pada satu siluet yang begitu menawan, bukan tampan tapi rupawan.


Seperti sirkus yang dihentikan, fikiranku terpaku. Terdiam. Sungguh aku tak hendak mengingatnya malam ini. Tapi malam memang ruang penuh bintang yang menawarkan ketenangan hingga aku merasa aman, nyaman dan terpancing memutar perjalanan.

Perjalanan? Apa pula yang sudah ku jalani?


Hanya berkedip, bernafas, sesekali bergerak atau memikirkannya.
Tapi bukan tentang itu, melainkan tentang aku, hatiku dan keputusanku.

Seolah berjalan mundur, aku menyusuri dinding-dinding kehidupan yang mulai goyah.
Dari susunan bangunan pertama hingga yang terakhir diujung ruang.
Ku dapati figura yang menghiasi parasku, bukan tentang seberapa elok figuranya, tapi seberapa tulus senyumanku saat itu.
Saat itu memang Tuhan menginginkan senyuman dari anak hawa yang jauh dari sempurna.
Bagai opera, segmen-segmen masa lalu silih berganti, berebut masuk kedalam ingatanku.

Saat itu, dua tahun yang lalu.
Aku menjadi pemeran utama dalam skenario yang Tuhan berikan untuknya.
Episodenya menyenangkan, aku menikmatinya.
Canda, tawa, kehangatan, kepastian, semuanya jelas kurasakan.
Jelas! Sejelas teori matahari sebagai pusat tatasurya.

Akulah Putrinya!! Hatiku bersorak demikian.

Sesekali aku bergeming, membiarkan potret-potret kebahagiaan mengisi lamunan yang tak pernah kubiarkan membuyar.
Tapi kali ini.
Aku tak ingin memutar lamunan.
Aku tak sanggup membayangkannya.
Aku tak kuasa memikirkannya.
Karena Aku tak ingin kehilangannya.

Terjadi.

Membayangkan bukan lagi sesuatu yang tidak kusanggupi.
Memikirkan bukan lagi hal yang tidak ku kuasai.
Kehilangan bukan lagi ketakutan.

Aku melanjutkan langkah, mencari figura selanjutnya.
Barangkali kali ini aku menemukan potongan mozaik yang indah.
Usang, berdebu, mimik sendu, pilu, kelabu.
Itulah puzzle terakhir yang terpampang di ujung dinding yang ku telusuri.
Sepertinya saat itu aku benar-benar tak sudi sunggingkan senyuman.

Seseorang tak lagi berperan layaknya pangeran.
Aku tentu tak berniat merangkai frasa demi keluhan yang seharusnya ku sampaikan.
Aku terdiam.
Aku benar-benar diam.
Tapi bukankah diam itu penuh alasan?
Lantas mengapa seseorang tidak berbesar hati untuk sekedar mancari alasan itu?

Kini kau seperti hujan yang tak faham arti kedinginan.
Dulu kaulah hujan yang memberi kehangatan.
Apa waktu mengikis cintamu?
Aku ingatkan kau!
Bukankah kau yang ajari aku kesabaran dengan cara memintanya?
Bukankah kau yang ajari aku pengertian dengan cara merajuknya?
Bahkan kau ajari aku untuk bisa menjadi sosok yang kau butuhkan!
Kau boleh ajari aku segalanya, tapi jangan ajari anak dara untuk terbang.
Tinggal waktu mempersilahkan, ia bisa lakukan.
Kapan saja.

Dan aku bukanlah anak dara yang mampu mengepakkan sayap.
Ku patahkan kedua sayapku sejak aku bertemu sosok sepertimu.
Agar aku tak dapat terbang, pergi dari hidupmu.
Aku ingin berjalan, searah dengan langkahmu.
Aku ingin kau genggam.
Aku meridukan kamu.
Kamu! Kamu yang mampu menguntai kalimat bahkan paragraph.
Bukan hanya berucap satu frasa bahkan satu kata yang berakhir semu, bisu.

No comments:

Post a Comment