November 18, 2012

Obituary


Dulu aku lihat dari surga sosok pria cukup tampan sedang berbincang dengan gadis manis. Aku fikir mereka sepasang insan yang berusaha menjadi 'Adam dan Hawa'. Tapi semakin daun telingaku melebar, aku dengar kalimat 'tolong sampaikan ini padanya' dan 'baiklah, semoga kalian cepat menikah'.
Hmm, rupanya aku salah telak. Gadis itu bukan 'hawa' nya.
Aku tidak tertarik untuk memerhatikan mereka lagi.
Masih dulu.
Aku masih di nirwana juga. Mataku dimanjakan oleh ratusan pasang mata yang memberi selamat kepada sepasang senyum. Aku ikut tersenyum, padahal aku tak mengenal si empunya senyum itu. Aku hanya pernah melihat mereka. Iya, mereka itu yang dulu aku dengar perbincangannya. Entah mengapa, aku ingin mereka bahagia.




****

Tuhan berbisik pelan kepadaku 'sebentar lagi kamu ada diantara suka dan duka'
Aku tersenyum mengangguk lemah, tak sabar akan janjiNya. Sungguh, Waktu membuatku resah.




Hingga malam itu begitu indah. Aku hilang resah. Sesaat aku tak tau apa yang akan terjadi. Mataku dipejamkanNya. Dinding hatiku diusapNya. Suka dan duka itu siap memelukku.




Aku lahir sempurna. Tatapan pertamaku jatuh pada retina wanita yang dulu aku lihat senyumnya dari nirwana. Kulihat tubuhnya lemah, tertindih peluh tanpa keluh.
Tangisan pertamaku jatuh pada pelukan pria yang dulu aku lihat dari surga juga. Kurasakan dekapannya hangat tanpa cacat.
Kalau saja mereka mengerti, saat itu aku sedang bahagia.




Aku lupa kapan kali pertama aku berkata. Aku juga tak ingat kata pertama yang ku ucap. Tiba-tiba saja aku pandai berfrasa bahkan berlari kesana kemari.




Tahun-tahun berikutnya aku tetap bahagia. Kehadiranku sungguh mereka tunggu. Kata sayang tak henti-hentinya menghujani hari-hariku. Bahkan sampai aku menjadi seorang kakak, aku tetap mereka kasihi. Tanpa lelah, diajarinya aku untuk beraksara. Tanpa susah, aku mahir memainkan pena.





Oh, ya..
Aku tidak tertarik untuk duduk di bangku TK. Jadi jelaslah, mereka yang berjasa membuatku lancar menghafal aksara, angka, bahkan suara.




Usiaku semakin dewasa, aku lupa kalau tuhan pernah menjanjikan suka dan duka. Selama jantungku berirama, aku tak pernah merasa duka. Bahkan aku nikmati dengan sempurna saat-saat putih merah menjadi seragamku. Dimasa itu aku pandai bergulat. Tepatnya silat. Aku juga mahir menari, bergerak sesuai alunan lagu.




Waktu terus memakan usiaku. Saat itu aku mulai gelisah, bisikan tuhan mulai bergema di dinding telingaku.
Masa-masa putih biru tak kulewati bersama mereka. Bapak mulai terlihat melemah, aku sangat mengerti saat ibu mengantarku ke salah satu kediaman kakaknya. Disanalah aku melanjutkan sekolah. Aku tetap bahagia. Sering kali aku ingat adikku, ibu, juga bapak.





Aku rindu adikku yg seakan selalu menjadi saingan utama.
Aku rindu ibuku yg terlihat diam tapi penuh perhatian.
Aku juga rindu bapak. Bapaktak pernah lupa mencium pipiku, bapak juga pernah memuji puisi pertamaku yang aku buat saat berumur 11 tahun. Dan sebagai hadiah untuk puisiku yang bagus, bapak membuatkanku puisi 'serangkai kembang'.
Puisi bapak indah sekali, disana bapak menulis tiga nama bunga 'Mawar, Melati, Anggrek'. Dari puisinya akulah Melati. Sejak saat itu aku tau, bapak pandai sekali merangkai kalimat. Sejak saat itu pula aku gemar menulis cerita. Aku tidak pintar, hanya gemar.




Mengingat kerinduan itu, sunyi sering mengunci setiap bunyi yang hendak membuatku bernyanyi. Aku jarang mereka kunjungi. Bahkan saat semester 1 aku mendapat raport yang sangat memuaskan, ibu mengucapkan selamat lewat suara saja. Bapak? Aku tidak mendengar suaranya. Ibu selalu bilang keadaan bapak baik-baik saja.
Ya, dari dulu ibu selalu bilang begitu.




 ***



Kenyataannya, segalanya milik Tuhan.
Langkahku cepat menyusuri anak tangga, tak sempat aku memikirkan sapaan yang hendak ku ucap. Terhenti. Kedua lututku bergetar, aku tak mendapat ciuman apalagi pelukan. Melemah. Aku berusaha menyuguhkan senyum. Terpaku. Dalam aku menatap binar mata yang begitu ku rindukan. Terdiam. Samar.
"Sayangku, Anakku.." parau sekali beliau berkata. Aku merengkuh raganya yang dulu hangat mendekap tubuh kecilku. Hening.



Hening hingga aku faham tugasnya telah usai.




No comments:

Post a Comment