September 20, 2015

a.k.s.i.o.m.a

Entah untuk keberapa kalinya...

Duduk sendiri di sisi kiri kursi bis yang sepi. Menerawang seperti mencari sesuatu yang tak pernah Tuhan ciptakan. Menatap kerlip lampu jalanan, bahkan sesekali menangkap sosok yang mungkin hanya ilusi-ku---tapi bukan tak mungkin ia benar-benar ada. Yang ada tak mesti kasat mata, kan? Seperti... pernahkah kau dapati O2 dalam entitas yang nyata?

Tanpa ragu aku membiarkan ia berlarian di labirin imajinasiku. Menuntunnya masuk ke dalam otakku yang tak lelah menyusuri tiap jengkal kenangan. Ah iya, apa hari kemarin sudah termasuk kenangan? Apapun itu, sesuatu yang menyenangkan selalu kusimpan.

Terlebih kemarin malam. Diam-diam mataku tak henti mencuri arti gelagat mereka, berusaha membaca keadaan, tapi tetap larut dalam gelak tawa yang sudah sejak lama tak kudengar. Dengan sedikit terbata, hatiku menerka-nerka “Sebenarnya siapa mereka?”.


*****

Rachel...



Jika saja ada bunga yang cantik, menarik, unik, dan mengundang sirik, aku namai dia Rachel. Aku benar-benar tak bisa mengingat kapan gendang telingaku mendengar kata 'Ini Rachel' untuk pertama kalinya. Tapi entah apa sebab, aku merasa sudah lama mengenalnya.

Jangan karena 'analogi bunga'-ku kau berfikir Rachel gadis yang lugu, pendiam, seperti kembang desa. Tidak sama sekali. Rachel asik bukan main. Jujur saja, Rachel gadis pertama yang bisa membuatku tak segan berkalimat. Seperti yang sudah kukatakan, 'aku merasa sudah lama mengenalnya'.

Dengan pertemuan yang masih terhitung jari, aku sudah banyak merepotkannya. Menginap di rumahnya, membuatnya tidur dini hari, membangunkannya pagi-pagi, dan mungkin banyak lagi. Tanpa keberatan, Rachel hanya tersenyum, balik bercerita dengan gayanya yang super asik, atau cukup meng-iya-kan statement-ku sebelum akhirnya terlelap juga.

'Rachel asik bukan main', bisakah kau bayangkan? Atau harus kujelaskan saat itu Rachel yang mengenakan jaket kulit hitam, celana jeans biru pudar, sepatu convers semata kaki, lipstick pink---yang membuatnya semakin 'waw', tak henti bercerita soal ini-itu kepadaku, dan teman-temannya---yang tentunya asik juga.

Rachel : "Pengen nge-date, asli kangen euy, kangen si pacar rasa teman!"

*****

Fazar...

Fazar mengenalku sebelum Rachel, kami kebetulan bersua disebuah kedai kopi. Aku tak ingat kenapa aku bisa di kedai itu. Tapi terkadang dunia memang sempit. Dan tak masalah, belakangan ini aku suka segala ketidaksengajaan. Belakangan ini, aku sengaja mencari ketidaksengajaan.

Fazar, yang selanjutnya kupanggil Jay ini 'mestinya' sosiolog, tapi Jay menjelma menjadi pujangga. Sungguh Jay, aku tersenyum saat menyusun kalimat ini, mengingat kau yang menurutku puitis-humoris. Kemarin, aku tak sempat membayangkan rasanya menjadi Anin yang mungkin rajin kau kirimi puisi pengantar tidur. Hari ini, aku tak henti tersenyum geli, membayangkan posisi Anin beserta handphone-nya yang penuh dengan teks puisi-mu. Mungkin aku berlebihan, tapi bagiku yang jarang mendapat kiriman untaian frasa, hal-hal seperti itu begitu menarik---menggelitik.

"Fazar sayang sama Anindya."

Kalimat itu terselip disela-sela obrolan kami, dengan posisi Anin duduk tepat di sebelahnya. Jelas sudah, Fazar memang ahli sosiologi yang pawai bermain hati, eh maksudku pandai memikat hati.

Aku yang duduk beberapa meter di depan mereka hanya bisa tersenyum, ber-iya saja. Sungguh Jay, aku tidak membayangkan partner-ku berkata semanis itu.
Dan kau tau Jay?! Menurutku kau pemerhati yang baik, beberapa pendapatmu---tentangku---tak bisa kupungkiri ketepatannya. Padahal kita hanya bertemu beberapa kali, berdiskusi tentang hal-hal yang tak ada relasinya dengan kepribadian. Tapi, ya, sepertinya kau memang salah satu makhluk sosial yang berhasil menerapkan sosiologi (?) Eh, kau sudah mau lulus, kan?

Baik iya atau tidak, selamat Jay! Dan jangan tanya sejak kapan aku memanggilmu Jay. It was nice to see you.

Fazar : "Boleh Jay berprediksi? Kamu akan menikah, jadi seorang istri dan ibu. Jadi panutan anak-anakmu. Jadi sosok yang diam tapi berbicara. Ya pokoknya begitulah."

*****

Budi...

Hai Bud! Kau ingin kuceritakan sebagai sosok yang bagaimana?! Haha

Tenang, di sini kau tetap kupanggil "Bud", bukan "embe".

Meskipun jari-jariku akan sering tergelincir, tapi jangan khawatir mbe Bud, aku tetap memanggilmu "Bud".

Budi tampan, sungguh ini bukan gombalan. I swear Bud, you have a good whiskers-jaw.

Penikmat seni ini benar-benar menghabiskan stock tawa-ku selama dua hari. Parasnya saat menyampaikan lelucon kang Ibing lebih lucu dari ceritanya sendiri. Pasalnya, cerita yang ia sampaikan terkadang gagal, terlewat point pentingnya, lupa alur ceritanya, atau ada saja fail-nya. Tapi ekspresinya tak pernah gagal. Entah berapa cerita yang ia sampaikan malam itu. Bukan hanya humor kang Ibing, Budi banyak bercertita soal sejarah, politik, agama, apalagi seni. Sepertinya, jika aku memintanya bercerita semua tokoh wayang yang kukenal, ia takkan keberatan. Toh, masih terhitung jari.

Perawakan Budi yang 'laki banget' membuatku tak habis fikir saat ia menambahkan lagu Laluna di playlist malam itu. Jadi benar, don't judge a book by its cover.

Ah, iya! Suara Budi enak sekali didengar. Beberapa lagu asing yang ia nyanyikan tetap membuatku menilai suaranya berkarakter.

Tak banyak yang aku tahu soal Budi. Tapi sejauh ini, Budi menyenangkan sekali. Kemahirannya bercerita bertambah 15% saat ia menyelipkan beberapa kosa kata dalam bahasa Jepang.

Aku sedikit membayangkan Budi sedang bercerita pada Tina. Ya, Tina cintanya Budi. Maaf Bud, imajinasi-ku terkadang terlalu liar.

Budi : "Besok urang mau ke undangan sama Tina. Tapi duh, si Tina sebenernya harus dirawat, mana dia gak pake BPJS. Lieur aing!"

*****

Kalau boleh, aku masih ingin berlama-lama duduk di sini. Bersandar pada sepi.

Kalau bisa, aku masih ingin bercerita banyak tentang mereka.


Tentang Rachel yang malam itu sibuk mengurusi acara Agustusan di dekat rumahnya. Membayangkannya berjalan kesana-kemari, aku keheranan. Sesibuk itu, parasnya masih cantik---polesan lipsticknya yang rapi tak kunjung pudar.

Tentang Fazar yang terkadang memakai sudut pandang orang ke-tiga ketika bertanya tentang wanita. Meminta pendapatku "baiknya bagaimana", "bagaimana bila...", bahkan ia sempat bertanya "Selamat tidur macam apa yang diidamkan wanita".


Atau tentang Budi, yang baru aku kenal malam itu, yang esoknya kutemui dan masih begitu. Re-teller yang cakap. Yang dengan semangatnya membawa beberapa keping CD rekaman pertunjukan wayang. Padahal saat itu, hari masih terlalu pagi untuk menikmati suara dalang. Tapi itulah Budi, karakternya jarang sekali kutemui.

Dan kalau saja Tuhan izinkan, aku masih ingin menikmati waktu bersama mereka. Rachel, Fazar (serta Anin), juga Budi (termasuk Tina).

Hey, tunggu! Kau di situ? Sejak kapan? Ah, kau... selalu begitu. Dan, hey! Malam itu kau di sana juga, kan? Maaf aku hanyut dalam ceritaku, terlalu semangat menceritakan mereka hingga tak sadar ada yang memerhatikan.

Tapi jangan khawatir Ar, aku tak pernah melepaskan bayangan tentangmu.

Kali ini kau ingin masuk ke dalam ceritaku?

Atau kau ingin bercerita?

Baiklah, mari kita coba...

*****

Argus...

Dulu sekali, kau datang begitu saja, Ar. Maafkan aku yang selalu terburu ingin tahu. Komunikasi kita tidak berjalan lancar. Mungkin aku belum banyak belajar, hingga kau bosan memberiku isyarat. Sungguh Ar, aku belum faham.

Lama sekali Ar...

Lama sekali kau menghilang, aku rindu sorot matamu. Aku rindu hangatmu. Aku rindu menebak-nebak maksudmu.

Lama sekali Ar...

Hingga kau kembali lagi beberapa waktu lalu, yang tepatnya tak dapat kuingat. Aku berkerut-kening saat melihat sosok-mu lagi. Memastikan itu benar-benar kau, Ar. Dan nampaknya memang kau.

Kau masih begitu. Tak banyak yang berubah. Malah mungkin aku yang sedikit berbeda. Tak seperti aku yang dulu kau temui, tapi tetap saja Ar, aku masih sering berdistraksi. Kedatanganmu tetap seperti dulu, Ar. Seperti malam ini, begitu tiba-tiba tanpa aba-aba. Beruntung aku yang sudah curiga bisa bersiap-siap 'menyambutmu'.

Kau masih di situ, Ar? Memastikan aku menceritakanmu tanpa keliru? Haha.

Baiklah, Ar. Kau mau bilang apa? Oh ya...

Terimakasih, Ar. Aku tahu, sangat jelas malam itu kau ada di sisi kanan-ku. Beberapa meter dari Budi yang asik bercerita ini-itu. Kau harus tahu, Ar,  aku berusaha menatapmu lebih dalam. Mencoba berbicara dengan matamu. Mata yang sungguh aku rindukan. Tapi aku tak mau terlihat aneh. Akan sulit jadinya kalau mereka sadar aku mencari sesuatu yang tak dapat mereka lihat.

Terimakasih, Ar. Aku tahu kau ikut tertawa saat aku malu-malu menertawakan salah satu diantara mereka. Aku merasakan teduh matamu diam-diam memastikan aku benar-benar tertawa bahagia. Ingin sekali aku memelukmu dihadapan mereka, Ar. Tapi bukan hanya akan menimbulkan keheranan, mereka mungkin menganggapku gila.

Dan maaf, Ar. Aku mulai terbiasa berkomunikasi denganmu, mulai lancar menafsirkan tatapanmu, tapi belum juga bisa menebak "Siapa dirimu?" sampai pada hari itu aku menamaimu "Argus"---melihat segalanya. Sesuai dengan sosok-mu, Ar. Sosok yang tak pernah berhenti mengawasi, memastikan semuanya baik-baik saja, dan tetap waspada bahkan saat terlelap. Ya, hanya karena itu. Bukan karena perawakanmu seperti Argus Panoptes dalam mitologi Yunani, kau jelas jauh lebih tampan.

Diantara mereka, mungkin kau satu-satunya yang bisa merasakan mataku berkaca-kaca. Saat itu, aku melihat matamu berkata "kau mengantuk". Bukan Ar, aku sama sekali tak ingin tidur. Bagaimana bisa kantuk mengalahkan rasa haru yang memenuhi batinku? 

Sungguh malam itu aku senang, Ar. Kau lihat mereka, bukan? Mereka bergantian bercerita dengan nada dan gaya pelawak sehingga aku tak henti-hentinya terbahak. Padahal aku sangat sadar, mereka pasti sudah membahas itu berulang kali. Hanya karena ada aku yang baru punya waktu dan kesempatan, mereka mengulang lagi dengan 'setting' seolah semuanya baru dimulai. Sekali lagi, sungguh aku bahagia, Ar.

Terlebih saat aku sadar kau benar-benar di sisi-ku. Entah bagaimana, rasanya kau mengusap kepalaku. Aku tenggelam dalam dekapmu. Hangat sekali rengkuhmu, Ar. Entah bagaimana, semuanya terasa nyata. Dan, memang kau nyata, kan?!

Kau masih di situ, Ar? Apa ceritaku masih sesuai dengan yang ingin kau sampaikan?

Tetap di situ, Ar. Aku belum lelah memerhatikan, mencoba membaca dan memaknai setiap kedip matamu. Aku masih merindukannya. Kau terlalu lama pergi, Ar. Jadi, tetap di situ dulu. Meskipun aku tak tahu senyummu, tak apa. Kita terbiasa bercakap lewat tatap, bukan?

Sekali lagi, terimakasih, Ar.

Terimakasih malam itu kau datang. Aku tak perlu tahu tujuanmu di sana, yang jelas kau ada, kau nyata---untukku, cukup untukku, Ar.

Dan Ar, tetaplah menatapku dengan tepat.

Pun aku yang masih mencoba malakukan itu, membiarkan mataku menari meniru kerlingmu.

Terimakasih, Ar. Terimakasih sudah membiarkanku menceritakan sedikit tentangmu, meskipun setelah ini mungkin banyak yang yakin aku sedikit mengidap kelainan delusi. Tapi biarlah, kau jelas ada---untukku.



2 comments:

  1. " Ah, iya! Suara Budi enak sekali didengar. Beberapa lagu asing yang ia nyanyikan tetap membuatku menilai suaranya berkarakter."

    Ah, Eka. I think you are the worst-liar in the world :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Ibel yang manis, I just try to please him even I should bit lie :p
      But seriuuus, buat yang awam sama nada-nada mah lumayan laaah haha

      Delete