October 12, 2015

R.A.S.U.K


Dear 'Teh Risa', saya izin re-type sedikit karya-mu.
I don't even know, kenapa suka banget sama prolog ini...
I do feel every phrases, bahkan mungkin tiap syllable-nya.

Prolog

Dari sekian banyak garis hidup manusia yang Kau gambarkan, mengapa harus garis hidupku yang Kau buat berliku? Mengapa tak Kau buat lurus saja? Mungkin tanganMu tak akan terlalu pegal jika dibandingkan harus membuat garis-garis itu jadi sembarang.

Hidupku begitu semrawut! Aku kerapkali mengutuknya. Kau pasti bosan mendengar hatiku menjerit mencakar setiap relung dalam benak. Mereka bilang Kau pasti mendengarnya. Betul begitu? Aku butuh bukti, bukan isapan jempol semata.

Begitu banyak nama dalam hidupku, begitupula wajah. Aku dibuat gila karena mereka semua, tapi seolah aku hanya sendirian di dunia. Semua nama itu, semua wajah itu, tak satupun mampu mengangkatku dari lembah kosong menyedihkan ini. Banyak cerita kehidupan mereka yang kuketahui, dan sebanyak itu pula ketidakbahagiaan yang pada akhirnya membutakan pikiranku. Kalian semua berhasil, dan Kau… sutradara dari kisah hidupku, menuliskanku GAGAL.

Aku tengah berada di persimpangan, melangkah ke mana saja tak ada yang bagus buatku. Maju, terlalu banyak pilihan yang berujung ketidakpastian. Mundur? Hah? Mundur? Lihat saja masa laluku dipenuhi tangisan. Ke kanan? Tak ada jalan. Ke kiri? Sama saja. Aku harus kemana? Coba tunjukan! Terlalu gelap di sini! Gelap, ya…, KEGELAPAN. Kami bersahabat dengan baik. Oh, kau sungguh baik membuat kami berdua terus menerus bersama hingga saat ini.

Mengapa Kau yang Maha adil membuat ketidakadilan dalam hidupku? Apa salahku? Bahkan, sejak kali pertama menghirup nafas di dunia pun aku telah ditakdirkan menjadi anak yang ‘salah’. Apakah Kau tidak bosan membuatku terus menerus menjadi sesuatu yang salah? Aku bosan! Sungguh aku ingin benar-benar berteriak; meneriaki siapapun yang membuat hatiku dipenuhi rasa iri, kecewa, dan ketidakbahagiaan.

Aku ingin berkawan dengan cahaya, dan segala nyanyian merdu. Suara sumbang hatiku, persahabatanku dengan kegelapan kian lama kian membuatku mual hingga rasanya ingin mati saja. Oh, benar juga, kenapa tak Kau ambil saja nyawaku ini? Aku bosan terus menerus meredam marah. Aku lelah menjadi minoritas yang selalu tertindas.

Aku iri pada kehidupan mereka. Sekalipun hidup mereka pernah tidak bahagia, toh akhirnya mereka semua menemukan kebahagiaan. Sedangkan aku? Tak ada harapan….

Langgir Janaka.

No comments:

Post a Comment