Malam ini kelam.
Aku menyeret langkah, menghela nafas, menjamah buku usang
yang biasa menjadi pengaduan. Detak dan detik terdengar tak seirama, memilih
ritme sesuai kehendak mereka. Tak ada denting yang lain.
Malam ini sunyi.
Halusinasi mulai bermain, berlarian tak beraturan. Imajinasi
mulai berkeliaran, bayang-bayang bergantian sampai pada satu siluet yang begitu
menawan, bukan tampan tapi rupawan.
Perjalanan? Apa pula yang sudah ku jalani?
Tapi bukan tentang itu, melainkan tentang aku, hatiku dan
keputusanku.
Seolah berjalan mundur, aku menyusuri dinding-dinding
kehidupan yang mulai goyah.
Dari susunan bangunan pertama hingga yang terakhir
diujung ruang.
Ku dapati figura yang menghiasi parasku, bukan tentang seberapa
elok figuranya, tapi seberapa tulus senyumanku saat itu.
Saat itu memang Tuhan menginginkan senyuman dari anak hawa
yang jauh dari sempurna.
Bagai opera, segmen-segmen masa lalu silih berganti,
berebut masuk kedalam ingatanku.
Saat itu, dua tahun yang lalu.
Aku menjadi pemeran utama dalam skenario yang Tuhan berikan
untuknya.
Episodenya menyenangkan, aku menikmatinya.
Canda, tawa,
kehangatan, kepastian, semuanya jelas kurasakan.
Jelas! Sejelas teori matahari
sebagai pusat tatasurya.
Akulah Putrinya!! Hatiku bersorak demikian.
Sesekali aku bergeming, membiarkan potret-potret kebahagiaan
mengisi lamunan yang tak pernah kubiarkan membuyar.
Tapi kali ini.
Aku tak ingin memutar lamunan.
Aku tak sanggup membayangkannya.
Aku tak kuasa memikirkannya.
Karena Aku tak ingin kehilangannya.
Terjadi.
Membayangkan bukan lagi sesuatu
yang tidak kusanggupi.
Memikirkan bukan lagi hal yang
tidak ku kuasai.
Kehilangan bukan lagi ketakutan.
Aku melanjutkan langkah, mencari figura selanjutnya.
Barangkali
kali ini aku menemukan potongan mozaik yang indah.
Usang, berdebu, mimik sendu, pilu, kelabu.
Itulah puzzle terakhir yang terpampang di ujung dinding yang
ku telusuri.
Sepertinya saat itu aku benar-benar tak sudi sunggingkan senyuman.
Seseorang tak lagi berperan layaknya pangeran.
Aku tentu tak berniat merangkai frasa demi keluhan yang
seharusnya ku sampaikan.
Aku terdiam.
Aku benar-benar diam.
Tapi bukankah diam
itu penuh alasan?
Lantas mengapa seseorang tidak berbesar hati untuk sekedar
mancari alasan itu?
Kini kau seperti hujan yang tak faham arti kedinginan.
Dulu
kaulah hujan yang memberi kehangatan.
Apa waktu mengikis cintamu?
Aku ingatkan kau!
Bukankah kau yang ajari aku kesabaran dengan cara
memintanya?
Bukankah kau yang ajari aku pengertian dengan cara
merajuknya?
Bahkan kau ajari aku untuk bisa menjadi sosok yang kau
butuhkan!
Kau boleh ajari aku segalanya, tapi jangan ajari anak dara
untuk terbang.
Tinggal waktu mempersilahkan, ia bisa lakukan.
Kapan saja.
Dan aku
bukanlah anak dara yang mampu mengepakkan sayap.
Ku patahkan kedua sayapku
sejak aku bertemu sosok sepertimu.
Agar aku tak dapat terbang, pergi dari
hidupmu.
Aku ingin berjalan, searah dengan langkahmu.
Aku ingin kau genggam.
Aku
meridukan kamu.
Kamu! Kamu yang mampu menguntai kalimat bahkan paragraph.
Bukan hanya berucap satu frasa bahkan satu kata yang berakhir semu, bisu.
No comments:
Post a Comment