Dulu aku lihat dari surga sosok pria cukup tampan sedang berbincang
dengan gadis manis. Aku fikir mereka sepasang insan yang berusaha
menjadi 'Adam dan Hawa'. Tapi semakin daun telingaku melebar, aku dengar
kalimat 'tolong sampaikan ini padanya' dan 'baiklah, semoga kalian
cepat menikah'.
Hmm, rupanya aku salah telak. Gadis itu bukan 'hawa' nya.
Aku tidak tertarik untuk memerhatikan mereka lagi.
Masih dulu.
Aku
masih di nirwana juga. Mataku dimanjakan oleh ratusan pasang mata yang
memberi selamat kepada sepasang senyum. Aku ikut tersenyum, padahal aku
tak mengenal si empunya senyum itu. Aku hanya pernah melihat mereka.
Iya, mereka itu yang dulu aku dengar perbincangannya. Entah mengapa, aku
ingin mereka bahagia.
Tuhan berbisik pelan kepadaku 'sebentar lagi kamu ada diantara suka dan duka'
Aku tersenyum mengangguk lemah, tak sabar akan janjiNya. Sungguh, Waktu membuatku resah.
Hingga malam itu begitu indah. Aku hilang resah. Sesaat aku tak tau apa
yang akan terjadi. Mataku dipejamkanNya. Dinding hatiku diusapNya. Suka
dan duka itu siap memelukku.
Aku
lahir sempurna. Tatapan pertamaku jatuh pada retina wanita yang dulu
aku lihat senyumnya dari nirwana. Kulihat tubuhnya lemah, tertindih
peluh tanpa keluh.
Tangisan pertamaku jatuh pada pelukan pria yang dulu aku lihat dari surga juga. Kurasakan dekapannya hangat tanpa cacat.
Kalau saja mereka mengerti, saat itu aku sedang bahagia.
Aku
lupa kapan kali pertama aku berkata. Aku juga tak ingat kata pertama yang
ku ucap. Tiba-tiba saja aku pandai berfrasa bahkan berlari kesana
kemari.
Tahun-tahun
berikutnya aku tetap bahagia. Kehadiranku sungguh mereka tunggu. Kata
sayang tak henti-hentinya menghujani hari-hariku. Bahkan sampai aku
menjadi seorang kakak, aku tetap mereka kasihi. Tanpa lelah, diajarinya
aku untuk beraksara. Tanpa susah, aku mahir memainkan pena.
Oh, ya..
Aku tidak tertarik untuk
duduk di bangku TK. Jadi jelaslah, mereka yang berjasa membuatku lancar
menghafal aksara, angka, bahkan suara.
Usiaku
semakin dewasa, aku lupa kalau tuhan pernah menjanjikan suka dan duka.
Selama jantungku berirama, aku tak pernah merasa duka. Bahkan aku
nikmati dengan sempurna saat-saat putih merah menjadi seragamku. Dimasa itu
aku pandai bergulat. Tepatnya silat. Aku juga mahir menari, bergerak
sesuai alunan lagu.
Waktu terus memakan usiaku. Saat itu aku mulai gelisah, bisikan tuhan mulai bergema di dinding telingaku.
Masa-masa
putih biru tak kulewati bersama mereka. Bapak mulai terlihat melemah,
aku sangat mengerti saat ibu mengantarku ke salah satu kediaman
kakaknya. Disanalah aku melanjutkan sekolah. Aku tetap bahagia. Sering
kali aku ingat adikku, ibu, juga bapak.
Aku rindu adikku yg seakan selalu menjadi saingan utama.
Aku rindu ibuku yg terlihat diam tapi penuh perhatian.
Aku
juga rindu bapak. Bapaktak pernah lupa mencium pipiku, bapak juga pernah
memuji puisi pertamaku yang aku buat saat berumur 11 tahun. Dan sebagai
hadiah untuk puisiku yang bagus, bapak membuatkanku puisi 'serangkai
kembang'.
Puisi bapak indah sekali,
disana bapak menulis tiga nama bunga 'Mawar, Melati, Anggrek'. Dari
puisinya akulah Melati. Sejak saat itu aku tau, bapak pandai sekali
merangkai kalimat. Sejak saat itu pula aku gemar menulis cerita. Aku
tidak pintar, hanya gemar.
Mengingat
kerinduan itu, sunyi sering mengunci setiap bunyi yang hendak membuatku
bernyanyi. Aku jarang mereka kunjungi. Bahkan saat semester 1 aku
mendapat raport yang sangat memuaskan, ibu mengucapkan selamat lewat suara
saja. Bapak? Aku tidak mendengar suaranya. Ibu selalu bilang keadaan
bapak baik-baik saja.
Ya, dari dulu ibu selalu bilang begitu.
***
Kenyataannya, segalanya milik Tuhan.
Langkahku cepat menyusuri anak tangga, tak sempat aku memikirkan sapaan yang hendak ku ucap. Terhenti. Kedua lututku bergetar, aku tak mendapat ciuman apalagi pelukan. Melemah. Aku berusaha menyuguhkan senyum. Terpaku. Dalam aku menatap binar mata yang begitu ku rindukan. Terdiam. Samar.
"Sayangku, Anakku.." parau sekali beliau berkata. Aku merengkuh raganya yang dulu hangat mendekap tubuh kecilku. Hening.
Hening hingga aku faham tugasnya telah usai.
No comments:
Post a Comment