Dear 'Teh Risa', saya izin re-type sedikit karya-mu.
I don't
even know, kenapa suka banget sama prolog ini...
I do feel
every phrases, bahkan mungkin tiap syllable-nya.
Prolog
Dari sekian
banyak garis hidup manusia yang Kau gambarkan, mengapa harus garis hidupku yang
Kau buat berliku? Mengapa tak Kau buat lurus saja? Mungkin tanganMu tak akan
terlalu pegal jika dibandingkan harus membuat garis-garis itu jadi sembarang.
Hidupku begitu
semrawut! Aku kerapkali mengutuknya. Kau pasti bosan mendengar hatiku menjerit
mencakar setiap relung dalam benak. Mereka bilang Kau pasti mendengarnya. Betul
begitu? Aku butuh bukti, bukan isapan jempol semata.
Begitu banyak
nama dalam hidupku, begitupula wajah. Aku dibuat gila karena mereka semua, tapi
seolah aku hanya sendirian di dunia. Semua nama itu, semua wajah itu, tak
satupun mampu mengangkatku dari lembah kosong menyedihkan ini. Banyak cerita
kehidupan mereka yang kuketahui, dan sebanyak itu pula ketidakbahagiaan yang
pada akhirnya membutakan pikiranku. Kalian semua berhasil, dan Kau… sutradara
dari kisah hidupku, menuliskanku GAGAL.
Aku tengah
berada di persimpangan, melangkah ke mana saja tak ada yang bagus buatku. Maju,
terlalu banyak pilihan yang berujung ketidakpastian. Mundur? Hah? Mundur? Lihat saja
masa laluku dipenuhi tangisan. Ke kanan? Tak ada jalan. Ke kiri? Sama saja. Aku
harus kemana? Coba tunjukan! Terlalu gelap di sini! Gelap, ya…, KEGELAPAN. Kami
bersahabat dengan baik. Oh, kau sungguh baik membuat kami berdua terus menerus
bersama hingga saat ini.
Mengapa Kau
yang Maha adil membuat ketidakadilan dalam hidupku? Apa salahku? Bahkan, sejak
kali pertama menghirup nafas di dunia pun aku telah ditakdirkan menjadi anak
yang ‘salah’. Apakah Kau tidak bosan membuatku terus menerus menjadi sesuatu
yang salah? Aku bosan! Sungguh aku ingin benar-benar berteriak; meneriaki
siapapun yang membuat hatiku dipenuhi rasa iri, kecewa, dan ketidakbahagiaan.
Aku ingin
berkawan dengan cahaya, dan segala nyanyian merdu. Suara sumbang hatiku,
persahabatanku dengan kegelapan kian lama kian membuatku mual hingga rasanya
ingin mati saja. Oh, benar juga, kenapa tak Kau ambil saja nyawaku ini? Aku bosan
terus menerus meredam marah. Aku lelah menjadi minoritas yang selalu tertindas.
Aku iri pada
kehidupan mereka. Sekalipun hidup mereka pernah tidak bahagia, toh akhirnya
mereka semua menemukan kebahagiaan. Sedangkan aku? Tak ada harapan….
Langgir Janaka.
No comments:
Post a Comment